Dulu, kebanyakan dari kita banyak mengumpulkan lagu secara fisik, baik melalui kaset, CD atau piringan hitam, atau kombinasi di antaranya. Selain dapat menikmati lagu yang berada di dalamnya, kita juga disuguhi artwork yang menarik dari setiap rilisannya.
Selama belasan tahun industri musik dianggap berada dalam titik nadirnya, di mana kasus copyright infigment dan hak royalti menjadi persoalan yang banyak ditemukan di industri musik.
Di era yang serba digital sekarang ini, industri musik adalah salah satu industri yang hingga kini masih kesulitan beradaptasi dengan dunia internet dalam memonetisasi kontennya. Walau kini layanan musik streaming seperti Spotify, Pandora dan Deezer telah menjamur di mana- mana, aga prematur jika harus mengatakan bahwa layanan musik streaming memiliki masa depan yang cerah di industri musik.
Layanan musik streaming kini sedang menjadi trending topic di ranah dunia digital, setelah Jay-J dengan Tidal-nya (walau dianggap tidak sukses, karena dianggap tidak memberika fitur yang menarik dimana kita harus membayar $20 tiap bulannya dengan imbalan kita mendapatkan kualitas audio sebaik CD) ikut meramaikan layanan musik streaming, kini Apple ikut berlomba memasuki pasar yang dianggap mampu menyelamtkan industri musik dari kehancuran.
Layanan musik streaming dengan konsep freemium-nya dianggap dapat menyelamatkan industri musik dari ambang kehancuran. Dari fitur gratis tersebut, diharapkan para penikmat musik akan tertarik untuk meng-upgrade akun mereka, dengan membayar $5-15 (Tergantung layanan yang kalian gunakan, saya menggunakan Spotify dan menghabiskan sekitar $10/bulan dan VPN karena Spotify belum masuk ke Indonesia) untuk menikmati fasilitas yang tidak hadir dalam layanan freemium yang mereka tawarkan. Dari akun yang berbayar tersebut, perusahaan- perusahaan layanan musik streaming membayar hak cipta kepada pemilik lagu.
Tapi menariknya, walau dalam tahun 2014 saja Spotify sudah membayar royalti sebesar $1 triliun pada semua pemilik konten di layanan musik streaming tersebut. Masih ada saja musisi yang menganggap bahwa layanan musik streaming tak jauh berbeda dengan Napster--sebuah layanan peer-to-peer milik Sean Parker (co-founder Facebook) yang "sukses" merevolusi industri musik dunia.
Contohnya, Taylor Swift. Pelantun lagu Bad Blood tersebut menarik semua lagunya dari Spotify karena menganggap layanan musik streaming tersebut mirip Napster, karena memberikan layanan gratis ke semua orang alih- alih melawan pembajakan. Padahal jika Ia mau meriset lebih dalam, single Avicii yang berjudul "Wake Me Up" berhasil di-streaming sebanyak 339 juta kali di Spotify dan menghasilkan lebih banyak uang dari layanan musik streaming dibanding penjualan CD dan single-nya tersebut di itunes. Aloe Balaac, co-writer dari penulis lagu tersebut berhasil mendapatkan $12,359 dari hasil streaming lagu tersebut di Pandora. Penghasilan yang selama ini tidak didapat dari rilisan fisik.
Pengguna layanan musik streaming dari tahun ke tahun juga meningkat cukup pesat. Hingga tahun 2014 saja, pengguna aktif layanan musik streaming di Spotify sudah mencapai 60 juta user, dimana 15 juta diantaranya merupakan premium subsciber, dengan pengguna terbanyak berada di kawasan Eropa.
Bagi saya pelaku pasar, layanan musik streaming membuat saya mudah mendapatkan data dalam memonitor pasar. Dalam dua tahun terakhir saya menggunakan data yang diambil dari Soundcloud, Deezer, Youtube dan Bandcamp dalam memvalidasi pasar yang cukup ampuh menaikan jumlah penjualan baik CD maupun merchandise. Sementara hasil revenue dari layanan streaming masih belum sebesar dari penjualan rilisan fisik tapi setidaknya cukup untuk menutupi ongkos produksi rilisan fisik, untuk saat ini.
Lalu bagaimana nasib layanan musik streaming di Indonesia?
Beberapa perusahaan penyedia layanan musik streaming sudah melakukan penetrasi ke pasar Indonesia, di antarnya: Deezer, Guaverra, Rdio, Soundcloud dan MixRadio (Penyedia layanan musik streaming milik Line).
Walau arahnya sedang menuju ke sana tapi ada beberapa challanges yang dihadapi setiap penyedia layanan musik streaming yang ingin atau sudah masuk ke pasar Indonesia. Selain kualitas internet yang buruk (dengan alasan itu juga Google menjadikan Indonesia sebagai contoh di Google i/o) para penyedia, record label dan musisi harus mengedukasi pasar bahwa layanan musik streaming dapat menekan jumlah pembajakan dan memberikan musisi pendapatan sehingga mereka dapat terus berkarya.
Terlalu dini untuk mengatakan bahwa layanan musik streaming mampu menjadi Messiah industri musik yang telah berada dalam posisi dekaden dalam belasan tahun terakhir, tapi mengatakan bahwa layanan musik streaming bukan jawaban yang selama ini dicari juga terlalu gegabah, toh layanan musik streaming telah mampu menambah revenue yang selama ini tidak mampu didapatkan dari penjualan fisik semata.
Music industry is dead, long live music industry!