Friday, 21 August 2015

25 dan Usaha Untuk Tidak Menjadi Dewasa

Jika dua tahun lalu ada kue tart dan pesta kejutan yang gagal, dan tahun lalu duduk di pinggir pantai memandangi langit Gili dan ngobrol ngalor- ngidul dengan beberapa bule Inggris soal Radiohead dan sepakbola. Kali ini, saya memilih berdiam diri di ruang kerja sambil mendengar single terbaru dari band asal Philadelpia, The Wonder Years. Melakukan apa yang saya harus lakukan, lalu memandang ke arah Bandung Utara. Melihat konstelasi bintang dan gemerlap cahaya dari lampu rumah penduduk di kaki gunung Tangkuban Perahu.

Tak ada yang spesial, tak ada kue tart dan pesta kejutan yang gagal. Tak ada bule yang curhat soal ditinggal pacarnya lalu memutuskan travelling ke Asia Tenggara. Hanya ada satu gelas nutrisari lalu beberapa pesan masuk berdatangan.

"Selamat ulang tahun, wish you all the best!!!"

Semua pesan yang berdatangan dengan nada yang hampir serupa. Begitu semua kira- kira isinya.

Biasanya, jika tak sedang bepergian, saya sering ditodong makan siang dan membayar tagihan. Tapi hari ini saya beruntung, kali ini beberapa kawan pergi tur dan bekerja di luar kota dan negeri. Uang yang tak terpakai bisa ditabung untuk membeli sesuatu yang tak perlu- perlu amat.

Tapi entah, saya masih bingung, harus gembira atau bersedih, bertambah umur justru mengurangi usia. Sudah seperempat abad. Berarti saya harus mulai bersikap dewasa. Walau kata beberapa teman saya cukup bijaksana ketika mengambil keputusan. Tetap saja, bagi saya menjadi dewasa itu menyebalkan.

Jika harus memilih dan andai menjadi tua tidak harus diiringi oleh sikap sok bijaksana dan sok bertanggung jawab yang kita sebut dewasa. Saya memilih untuk tinggal di Neverland bersama Peter Pan. Menertawakan mereka yang pandai berpura- pura dan sok bijaksana. Menertawakan mereka yang lupa dengan mimpi- mimpi mereka. Menertawakan mereka yang lupa dengan fantasi- fantasi mereka.

Ah tapi saya juga lupa, saya hidup di dunia yang sama dengan mereka yang lupa dengan fantasi liar mereka. Saya harus menjadi dewasa. Harus pandai berpura- pura dan sok bijaksana, terlebih lagi di depan wanita. Mulai harus bisa memprioritaskan, setidaknya begitu kata mereka.

Tapi bukannya semua orang punya hal- hal yang mereka prioritaskan. Perihal mana yang harus didahulukan. Tidak semua hal yang menurut mereka itu harus adalah harus menurut saya. Begitu pula sebaliknya.

Tapi percuma, seberapa keras saya melawan, dan mencoba membuktikan bahwa dunia orang dewasa itu menyebalkan toh saya tetap harus berkompromi dengan kenyataan.

Membayar segala tagihan dengan pekerjaan yang dibayar bulan depan. Duduk di depan komputer selama berjam- jam. Menghitung pemasukan dan pengeluaran. Mengawal produksian. Menuntaskan segala hal yang tertunda, khususnya masalah perkuliahan dan janji pada orang tua. Lalu meninggalkan mimpi dan fantasi terliar yang pernah ada dan menjadi dewasa. Berkompromi dengan kenyataan.

Tapi setidaknya saya ingin berterima kasih pada zat yang maha, yang telah memberi saya kesempatan untuk bertaruh dan bertarung habis- habisan. Bertaruh dan bertarung dalam segala hal, walau tak semuanya bisa saya menangkan.

Oh iya, di umur yang sudah seperempat abad ini, saya sudah berjanji untuk meninggalkan zona nyaman, menerjang batas, cause the only way to know how strong we are, is to keep testing our limits. 

Karena dalam hidup hanya ada dua pilihan, menang atau kalah telanjang. Dan toh hidup yang tak pernah dipertaruhkan tak akan pernah kita menangkan, bukan?


1 comment:

Anonymous said...

Usia itu tidak melulu menjadi patokan dewasa, sikap kita dalam memandang hidup yang realita itu yang membuat kita tahu siapa kita sebenarnya.