Tulisan ini dibuat beberapa bulan lalu. Tepat saat pemilhan ketua BEM Fakultas Unisba berlangsung.
Siang itu di depan kursi ruang dosen, menunggu teman- teman hadir dalam rapat ILSF, Andri memberi selebaran tentang pemilihan umum kepada saya. Walau tidak bertanya secara langsung, tapi saya yakin dan tahu maksud dari Andri adalah untuk memberi ajakan sekaligus wawasan kepada mahasiswa hukum di Unisba untuk tidak golput dalam pemilihan ketua BEM Fakultas Hukum Unisba dan juga mengajak mahasiswa hukum lainnya untuk memilih Sahrul.
Tulisan tersebut dibuat oleh Sahrul, calon ketua BEM (sekarang sudah terpilih menjadi ketua BEM), yang kebetulan berada dalam satu himpunan mahasiswa Hukum Internasional dengan saya. Tulisan yang bagus menurut saya, dilengkapi dengan data dan diksi yang baik pula.
Tapi, dari isi tulisan tersebut terdapat kalimat yang membuat saya sedikit mengerutkan dahi, Sahrul meminjam kredonya Gandhi; "Lebih baik menyalakan lilin daripada membiarkan diri dalam kegelapan"(kurang lebih begitu isi kalimatnya, selebarannya hilang) yap, frasa "membiarkan diri dalam kegelapan" membuat saya setuju untuk tidak setuju dengan tulisan Sahrul tersebut.
Entah siapa yang memulai mengambing hitamkan golput dalam buruknya suatu sistem pemerintahan, tapi itu bukan pertama kali saya membaca pernyataan serupa, pernyataan dengan penuh tendensi, menyalahkan orang yang sama sekali tidak pernah menyalakan lilin yang membuat rumah terbakar.
"Golput atau tidak golput" dikotomi usang pasca reformasi yang menjamur saat musim pemilu tiba. Golongan putih sering menjadi perbincangan dan kambing hitam dalam bobroknya suatu sistem, dianggap ikut berpatisipasi dalam memilih pemimpin yang buruk.
Dari pemilu ke pemilu angka Golput selalu naik, pada tahun 1999 angka golput mencapai 8%, tahun 2004 mencapai 23%, dan di tahun 2009 mencapai 39%.
Tapi bagaimana dengan mereka yang memilih dan membawa monster- monster tersebut berkuasa di pemerintahan? bukankah mereka yang menyalakan lilin yang membuat rumah itu terbakar?
Tidak semua golput besikap apolitis, banyak dari mereka yang memilih golput justru lebih mempunyai sikap politis dibanding yang berpartisipasi. Saya kenal banyak teman yang ikut berdiri memasang badan untuk kawan- kawan di Kulon Progo, ikut bersuara bersama buruh dalam memperjuangkan hak mereka, memberi bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan. Dan suara mereka lebih lantang dibanding mereka yang sok- sok-an mewakili kita di Gedung legislatif sana.
2 kali, sebanyak 2 kali saya ikut menggadaikan suara saya kepada mereka, beberapa saya titipkan kepada orang yang saya kenal, hasilnya? TETAP. Pemilu tak merubah nasib mereka yang tertindas. Negara tetap lalai, gagal melindungi rakyatnya dari hegemoni perusahaan- perusahaan besar, dari koruptor- koruptor yang merampas hak rakyat Indonesia.
Saya setuju dengan pendapat seorang teman, bahwa ini perang yang tak akan bisa kita menangkan. Tapi selama masih ada perlawanan, selama tangan masih bisa mengepal, perubahan ada di tangan kita bukan di tangan mereka. Dan kali ini saya lebih memilih memperjuangkan sendiri nasib saya dan tak menitipkan suara saya kepada siapapun itu, termasuk badut- badut di gedung DPR sana.
Whoever they vote for, we are ungovernable!!
No comments:
Post a Comment