Thursday, 19 April 2012

Ciao Piermario Morosini, Sempre con noi!!


Kematian adalah tragedi bagi setiap kehidupan, berapapun jumlahnya siapapun orangnya, kematian tetaplah kematian, sebuah tragedi yang menyedihkan begi setiap orang yang ditinggalkan.

Piermario Morosini, tak banyak yang mengenal namanya sebelum sebuah tragedi dilapangan sepak bola mengantarnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya. “Morosini adalah seorang pejuang” begitulah teman- teman di klubnya yang sesame pesepak bola memberi penilaian terhdapanya.

Hidupnya, terlalu akrab dengan tragedi, saat Ia berumur 15 tahun Ibunya meninggal, 2 tahun tahun kemudian ayahnya menyusul kepergian ibunya. Diselang waktu itu kakak laki- lakinya yang mempunyai keterbatasan fisik, meloncat dari jendela hingga meninggal yang membuat Morosini berjuang seorang diri mengurus saudara perempuannya yang juga mempunyai keterbatasan fisik. Dibalik penderitaannya, Ia tetap tegar dan masih bisa tersenyum sambil mencoba mewujudkan cita- cita Ayahnya agar Ia menjadi seorang pemain sepak bola professional.


Stadion Adriatico diguyur hujan saat Morosini menghembuskan nafas terkahirnya. Ia meninggal, saat Ia melakukan hal yang Ia sukai, bermain sepak bola dibawah guyuran hujan. Ia wafat setelah mengalamai serangan jantung diatas lapangan saat bertanding untuk Livorno, klub yang Ia bela melawan Pescara. Di pekan itu sepak bola Italia berhenti, sepak bola seluruh dunia ikut berduka.

Dibalik kematiannya ada salah satu hal yang membuat sepak bola lebih dari sekedar olah raga, beberapa klub Italia secara suka rela menawarkan bantuan perawatan saudara perempuan yang ditinggalkannya, bahkan kapten Udinese bersedia merawat saudara perempuan Morosini untuk tinggal bersamanya.

Sepak bola tak melulu soal perbedaan warna kostum dan permusuhan dilapangan. Ada hal yang lebih besar dari badge didada kiri setiap jersey klub sepak bola, Kemanusian dan bagaimana manusia menghargai sesamanya. Beberapa supporter di Italia dengan latar belakang yang berbeda bersedia menanggalkan warna kebesaran klub yang mereka bela, lebih dari seribu orang ikut hadir kepemakamannya dan bersimpati atas tragedi yang terjadi.

Tragedi Morosini seakan memberi banyak pelajaran, sebesar apapun rintangan dan cobaannya hadapilah semuanya dengan senyuman.

Ciao Piermario Morosini, Sempre con noi!!

Wednesday, 11 April 2012

Gadis Cantik Di Toko Buku

Ada satu dari ratusan toko buku yang saya datangi waktu itu, entah mengapa, tapi kerumitan takdir mengharuskan saya mendatangi tempat itu. Ada 2 orang yang sudah terlebih dahulu datang sebelum saya tiba, satu orang mahasiswa berpakaian lusuh yang mukanya belum dibilas oleh air sama sekali dan disampingnya duduk seorang mahasiswi cantik dengan rambut panjang yang terurai sungguh membuat mata sulit untuk tidak ingin melihat paras wajahnya itu.

Aku duduk disampingnya, tepat disampingnya. Mendengar suaranya yang merdu menawar harga buku. Ditangannya ada telepon genggam pintar yang ia pegang erat, sambil mendengar ia menawar, kucoba tanyakan judul buku yang kucari pada penjaga toko buku itu. Gadis itu menoleh, mulutnya tersenyum lebar menandakan bahwa ia cukup bersahabat.

Aku memang bukan seorang pria yang mengidap Caligynephobia, tapi saat duduk disampingnya aku tak mau berdusta bahwa aku cukup deg- degan dibuatnya sekaligus menikmati momen menawar buku disampingnya.

Disebuah coffee shop aku bercerita pada seseorang tentang kejadian tersebut.

“Aku bertemu gadis cantik di toko buku di Palasari tadi.”

“Seperti apa rupanya?”

“Pokoknya cantik!”

“Seperti apa rupa cantik menurutmu?”

“Aku tak tahu, tapi yang pasti ia cantik. Penjaga toko buku itupun berkata begitu padaku.”

“Lalu, kamu berkenalan dengannya?”

“Tidak, aku hanya bisa membalas senyumannya. Hanya itu yang aku bisa.”

Disana aku memang ingin bertanya siapa namanya, tapi yang jadi pertanyaannya, mau kah dia menjawab pertanyaan ku itu?. Dimata ku ia memang gadis yang sempurna tapi apakah aku cukup sempurna juga dimatanya, hal yang membuat ku menarik diri untuk sekedar bertanya siapa namanya.

Saat duduk memandangi layar laptop, aku berpikir. Gadis seperti itu pula kah yang Haruki Murakami gambarkan di cerpennya On Seeing 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning?. Seandaninya pagi itu terulang kembali mungkin aku akan memberanikan diri menanyakan yang seharusnya saya tanyakan kepadanya.