Sunday, 3 June 2012

Tragedi Itu Bernama Sepak Bola

"Some people believe football is a matter of life and death. I'm very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that."

Ada benarnya juga kutipan kalimat dari Bill Shankly, yang dalam beberapa hari terakhir terus berputar- putar mengisi isi kepala. Bagi sebagian orang, (klub) sepak bola mereka melibihi nyawa mereka sendiri.Sepak bola ibarat agama dan klub sepak bola adalah mahzab- mahzabnya yang tersebar dipenjuru dunia.

Agama? berlebihan mungkin, tapi memang begitu lah adanya. Saya adalah satu dari jutaan jemaatnya, entah berapa uang yang saya hamburkan untuk sekedar menonton bola, membeli jersey klub- klub dan negara, juga waktu yang terbuang atas nama sepak bola.Ribuan kilometer pernah ku tempuh hanya untuk beribadah atas nama sepak bola. Seperti berhaji dalam rukun Islam, datang ke stadion tempat klub pujaan bermarkas adalah wajib hukumnya.

Pengorbanan yang saya lakukan tidak ada apa- apanya dibandingkan dengan mereka yang rela mati datang ke stadion hanya untuk beribadah mendukung klub/negara sepak bola yang mereka bela. 69 orang tewas saat hendak menyaksikan Liverpool vs Nottingham Forrest. Di Heysel, 39 tewas saat kerumunan suporer dari Juventus dan Liverpool pecah.

Seminggu lalu, Rangga, Lazuardi dan Dian tewas di katedral agung tempat pujaan suporter Indonesia beribadah. Belum hilang duka atas tragedi itu, sekarang giliran Purwo yang menjadi martir atas nama sepak bola. 

Sejak Januari 2012, sudah 13 nyawa melayang atas nama sepak bola di Indonesia. Miris jika jumlah nyawa yang hilang hanya berakhir menjadi data statistik belaka. Nyawa mereka lebih berharga dibanding menjadi angka- angka matematika semata. Berapa pun nyawa yang hilang kematian tetap lah kematian, sebuah tragedi yang menyisakan kesedihan bagi siapapun yang ditinggalkan, semua insan sepak bola Indonesia harus berbenah, dari mulai suporter hingga stakeholder.

Sepak bola Indonesia sudah lama sakit, seolah tak pernah mau beranjak dari titik nadir para petinggi duduk nyaman berlindung dalam neraka yang penuh derita, segala ocehan yang mereka keluarkan selalu berakhir menjadi wacana. Belum lagi parahnya manajemen kontrol massa polisi Indonesia yang tak bisa apa- apa selain membubarkan massa dengan pentungan dan gas air mata dan larangan datang ke stadion.

Dengan segala kerendahan hati, sudah saatnya kita berubah agar nyawa- nyawa yang hilang tak berakhir sia- sia. Sudah saatnya bagi kita mengembalikan sepak bola berada dalam koridornya, menjadikannya hiburan dan alat untuk mempersatukan bangsa bukan menjadi tempat pembataian nyawa atas nama sepak bola.

I fell in love with football as I would later fall in love with women: suddenly, uncritically, giving no thought to the pain it would bring.