Bagi Hobbes, manusia bukanlah mahluk sosial, manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) karena manusia mempunyai
naluri untuk mempertahankan dirinya masing- masing. Dalam bukunya yang sangat
terkenal yang berjudul “Leviathan”, Hobbes menganalogikan binatang buas dalam
mitologi Timur Tengah tersebut sebagai simbol negara, karena bagi Hobbes negara
haruslah berkuasa dan ditakuti oleh rakyatnya, karena dengan cara itulah rakyat
akan tunduk seutuhnya.
Masih menurut Hobbes dalam bukunya tersebut, pada suatu
titik negara akan berhenti melindungi rakyatnya dan akan memulai menegakan
keadilan dengan cara kekerasan dan represi, di sini lah Negara berubah menjadi
monster yang buas, yang siap meneror dan memangsa siapa yang tak patuh pada
perintahnya seperti halnya Leviathan.
Hari itu merupakan hari yang cukup panjang dan melelahkan
bagi saya, pekerjaan yang menumpuk, membuat saya terlalu malas untuk melangkah
ke kamar atas dan memilih untuk menonton televisi dan tiduran di ruang
keluarga. Saat itu ada Ayah, Ibu dan anak buah ayah saya , Ende, duduk di ruang
keluarga.
Diskusi dimulai ketika salah satu dari kami melempar
pertanyaan siapa yang layak memimpin negeri ini, di antara kedua capres yang
ada. Saya tak menjawab, saat itu saya belum memutuskan untuk memilih Jokowi
atau tetap abstain seperti sebelumnya. Semua orang yang berada di ruangan itu
kecuali saya seperti sepakat dan mengamini, Prabowo adalah orang yang tepat untuk
memimpin negeri ini, menurut mereka ketegasan yang Prabowo punya mungkin bisa
merubah peruntungan Negara Indonesia ini. Tindakan kekerasan dan represi jika
diperlukan adalah salah kedua alasannya.
Betapa terkejutnya saya, keluarga saya yang mendidik saya
dengan kelembutan tanpa pernah ada satu bogem mentah melayang ke muka saya itu
bisa berpendapat demikian. Ok, saya memang dibesarkan dalam keluarga yang
konservatif tapi tak pernah sekalipun mereka melarang saya membaca buku, apapun
judul dan isi buku tersebut.
Malam itu kami berdebat cukup panjang, satu perdebatan
tentang ideologi politik yang saya nikmati walau melelahkan sekaligus
mengecewakan bagi saya secara pribadi. Bukan soal pilihan mereka terhadap Prabowo
dan Hatta, tapi pilihan mereka terhadap alasan kenapa Prabowo layak memimpin negara ini. Bahwa negara butuh seorang yang tegas, yang bisa melakukan
kekerasan dan represi jika diperlukan dan menjadi monster agar keadilan dapat
terlaksana.
Entah, tapi saya yakin, mereka lupa soal cerita
yang sering mereka ceritakan, tentang Petrus di tahun 80an. Saat itu, banyak
orang yang dianggap preman dibunuh dan dibuang layaknya sampah. Seperti cinta
yang bertepuk sebelah tangan, ada rindu tak terbalas yang berbekas dalam
keluarga yang ditinggalkan.
Mungkin saya salah, mungkin. Tapi bagaimana mungkin mereka
dengan mudah memaafkan orang yang berjasa menghilangkan nyawa ribuan manusia
atas nama kedaulatan dan stabilitas Negara?
Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka besarkan
dan diberi makan dengan keringat mereka ini hilang saat membaca buku yang
dilarang oleh orang yang mereka dukung ?
Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka timang
dengan penuh kasih sayang ini harus meregang nyawa karena berpikir kritis
terhadap pemerintahan yang mereka dukung?
Mungkin saya salah soal Prabowo nanti, akan tetapi ketakutan
saya menjadi wajar jika melihat penegakan HAM saat ini, di negara ini.
Bagaimana orang- orang yang terlibat dalam pembantaian DOM di Aceh dan Santa
Cruz di Timor Timur bisa melenggang dengan bebas mencalonkan diri menjadi
presiden tanpa diadili di pengadilan. Ini bukan soal Prabowo personal, toh, jika Wiranto mencalonkan diri pun saya akan tetap berdiri di sisi yang sama seperti saat ini.
Tanpa mengurangi rasa cinta dan rasa sayang saya kepada kalian,
mohon maaf kali ini kita bersebrangan, mungkin saya abstain atau memilih calon
presiden dari kubu yang berlawanan dengan kalian. Tapi seperti yang kalian ajarkan soal perbedaan pendapat, adalah hal lumrah jika diantara kita berbeda pendapat. Itu hak kalian dalam memilih nomor satu atau dua. Maka seperti soal fasisme yang anak kalian lawan, maka tak mungkin saya memaksakan kehendak saya pada kalian. Toh, jika saya bertindak seperti itu, maka apa bedanya saya dengan mereka yang saya lawan? bertindak fasis sedari dalam pikiran.
Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara
anak sulung kalian yang bersebrangan pendapat dengan kalian.
Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara
pagar yang dibuka oleh anak sulung kalian setiap malam, karena berpikir kritis
terhadap pemerintahan yang kalian dukung.
Mungkin, salah satu dari kalian akan berdiri di depan istana, pada setiap kamis sore, layaknya ibu- ibu yang rindu akan kehadiran anak dan suami mereka untuk pulang.
Tapi mungkin saya salah soal Prabowo. Mungkin saya terlalu berlebihan. Mungkin?
“semoga”.
No comments:
Post a Comment