Kita semua
di sini, sebagai manusia mempunyai peran menuliskan kisah- kisah epic secara
kolosal, karena saya yakin setiap manusia mempunyai sesuatu yang menurutnya layak
untuk dikontemplasikan. Sesuatu yang menurutnya layak diperjuangkan.
Safarnama,
berasal dari bahasa Persia yang berarti catatan perjalanan. Safarnama ditulis
pertama kali oleh Nasir Khusraw dalam perjalanan spiritualnya melakukan ibadah
haji. Dalam Safarnamanya tersebut, Nasir Khusraw menulis banyak hal tentang dirinya
sendiri, termasuk keputusannya dalam melakukan ibadah haji.
Ada
sebuah buku Safarnama yang lain, yang berhasil membuka mata saya. Buku tulisan
Agustinus Wibowo, seorang pejalan jauh. Dalam bukunya yang berjudul Titik Nol,
Agustinus Wibowo memberi saya perspektif lain arti dari sebuah perjalanan. Buku
yang memaksa saya untuk melihat ke dalam diri sendiri, bahwa perjalanan selalu memberikan
pelajaran. Pelajaran selain bagaimana belajar melihat dunia luar, juga belajar
untuk melihat ke dalam diri. Yah, acap kali untuk mencari apa yang ada di dalam, seseorang harus pergi
jauh keluar. Dan itu yang saya dapatkan dalam 4 tahun terakhir melakukan
perjalanan, pergi meninggalkan sebuah zona nyaman, dan keterasingan adalah
salah satunya, apapun itu bentuknya.
Esensinya sebuah perjalanan dapat membawa diri kita pada titik di mana kita dapat mengerti hidup kita. Dalam perjalanan acap kali kita menjadi lokasi, seharusnya perjalanan adalah pengalaman personal yang akan bermakna jika itu direnungkan, dan jarak bukanlah menjadi soal.
Kata
orang, tersesat adalah salah satu cara untuk menemukan diri sendiri. Dan, yah,
perjalanan ini bukanlah tentang seberapa jauh saya dapat pergi berkelana, tapi
ini tentang seberapa dekat saya dapat mengenal diri saya, seberapa hebat saya
telah menghancurkan harapan yang telah dibangun dan dirawat baik- baik, oleh
mereka, orang- orang yang pernah menggantungkan harapannya kepada saya. perjalanan
kali ini haruslah memberikan saya sebuah pelajaran berarti. Perjalanan yang
mampu membuat saya berkontemplasi bahwa ada hal yang bagi saya layak
diperjuangkan. Entah itu mimpi, seseorang atau sesuatu yang absurd sekalipun bernama
cinta. Maka saya memutuskan tujuan akhir bukanlah inti dari perjalanan ini. Karena
saya percaya bahwa untuk mengetahui seberapa kuat kita adalah dengan terus
mencoba menerjang limit kita, karena batas adalah cara manusia dalam melabeli
ketidakmampuannya.
Maka biarkan perjalanan ini menjadi sebuah awal bagi saya untuk mengenal esensi dari sebuah perjalanan. Perjalanan untuk mengenal saya, dia, kamu dan mereka lebih dalam. Memang secara kolosal kita menulis perjalanan kita masing- masing, tapi ada hal yang perlu diingat:
Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.