Tuesday, 19 August 2014

Safarnama: Sebuah Awal



Kita semua di sini, sebagai manusia mempunyai peran menuliskan kisah- kisah epic secara kolosal, karena saya yakin setiap manusia mempunyai sesuatu yang menurutnya layak untuk dikontemplasikan. Sesuatu yang menurutnya layak diperjuangkan.

Safarnama, berasal dari bahasa Persia yang berarti catatan perjalanan. Safarnama ditulis pertama kali oleh Nasir Khusraw dalam perjalanan spiritualnya melakukan ibadah haji. Dalam Safarnamanya tersebut, Nasir Khusraw menulis banyak hal tentang dirinya sendiri, termasuk keputusannya dalam melakukan ibadah haji.

Ada sebuah buku Safarnama yang lain, yang berhasil membuka mata saya. Buku tulisan Agustinus Wibowo, seorang pejalan jauh. Dalam bukunya yang berjudul Titik Nol, Agustinus Wibowo memberi saya perspektif lain arti dari sebuah perjalanan. Buku yang memaksa saya untuk melihat ke dalam diri sendiri, bahwa perjalanan selalu memberikan pelajaran. Pelajaran selain bagaimana belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Yah, acap kali untuk mencari apa yang ada di dalam, seseorang harus pergi jauh keluar. Dan itu yang saya dapatkan dalam 4 tahun terakhir melakukan perjalanan, pergi meninggalkan sebuah zona nyaman, dan keterasingan adalah salah satunya, apapun itu bentuknya.

Esensinya sebuah perjalanan dapat membawa diri kita pada titik di mana kita dapat mengerti hidup kita. Dalam perjalanan acap kali kita menjadi lokasi, seharusnya perjalanan adalah pengalaman personal yang akan bermakna jika itu direnungkan, dan jarak bukanlah menjadi soal. 

Kata orang, tersesat adalah salah satu cara untuk menemukan diri sendiri. Dan, yah, perjalanan ini bukanlah tentang seberapa jauh saya dapat pergi berkelana, tapi ini tentang seberapa dekat saya dapat mengenal diri saya, seberapa hebat saya telah menghancurkan harapan yang telah dibangun dan dirawat baik- baik, oleh mereka, orang- orang yang pernah menggantungkan harapannya kepada saya. perjalanan kali ini haruslah memberikan saya sebuah pelajaran berarti. Perjalanan yang mampu membuat saya berkontemplasi bahwa ada hal yang bagi saya layak diperjuangkan. Entah itu mimpi, seseorang atau sesuatu yang absurd sekalipun bernama cinta. Maka saya memutuskan tujuan akhir bukanlah inti dari perjalanan ini. Karena saya percaya bahwa untuk mengetahui seberapa kuat kita adalah dengan terus mencoba menerjang limit kita, karena batas adalah cara manusia dalam melabeli ketidakmampuannya.

Maka biarkan perjalanan ini menjadi sebuah awal bagi saya untuk mengenal esensi dari sebuah perjalanan. Perjalanan untuk mengenal saya, dia, kamu dan mereka lebih dalam. Memang secara kolosal kita menulis perjalanan kita masing- masing, tapi ada hal yang perlu diingat:

 Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.