Monday, 10 November 2014

Interstellar: Dimensi ke-5 dan Kisah Cinta Kosmik Di Ruang Angkasa



Christoper Nolan kembali hadir dengan film terbarunya. Sutradara konvensional yang tidak mempunyai telepon genggam ini menawarkan penjelajahan hingga batas terluar galaksi Bima Sakti dalam film terbarunya, Interstellar. Walau bukan karya terbaik Nolan dan jalan ceritanya tidak serumit Memento dan Inception, tapi Interstellar layak ditonton dengan konsentrasi tingkat tinggi.

Pada dasarnya film ini bercerita tentang keinginan manusia mempertahankan spesiesnya dari kepunahan dan kerusakan ekologi di planet Bumi dengan disisipi kisah cinta antara ayah dan anak yang tak lekang oleh ruang dan waktu. Dalam film ini Nolan bermain- main dengan dimensi waktu.

Selama ini konsep waktu memang menjadi perdebatan di kalangan fisikawan teoritis. Waktu merupakan dimensi yang sulit untuk diikuti dan dikendalikan oleh manusia hingga saat ini. Kita hanya bisa mengendarai waktu satu arah lurus ke depan tanpa bisa mundur ke belakang. Sebuah dimensi yang mengawang- ngawang tapi nyata adanya.

Sebagai bagian dari tatanan kosmos, kita tahu posisi kita di alam semesta ini, terombang- ambing di lautan galaksi yang luas tanpa tapal batas.

Sudah bukan rahasia lagi, sejak dulu manusia selalu mengajukan pertanyaan ekstensial akan bagaimana alam semesta ini berawal hingga bagaimana kita diciptakan? Walau agama telah memberi segala jawaban akan setiap pertanyaan tersebut tapi selalu ada ruang dalam diri manusia untuk mencari rasionalitas dari setiap pertanyaan yang mereka ajukan, bukan hanya berdasarkan dongeng dari kitab suci semata.

Sains mencoba menawarkan itu semua. Dengan segala keterbatasannya manusia mencoba bertahan hidup dan mencari tahu segala fenomena di alam semesta lewat sains. Mau tidak mau, terima tidak terima, selama ini teori- teori sains telah membawa kita menjelajah dasar lautan dan ruang angkasa tanpa tapal batas. Insting alami dari setiap mahluk hidup yang bernafas. Bertahan hidup. Dan Interstellar berbicara tentang itu semua.

Film ini bercerita tentang Cooper (Matthew McConaughey), seorang insinyur sekaligus pilot NASA yang menganggur karena tidak ada pekerjaan dan beralih profesi menjadi petani. Ia dipaksa memimpin ekspedisi Lazarus ke area terra nullius oleh Prof. Brand (Michael Caine) dengan ditemani oleh Amelia Brand (Anne Hathaway), Doyle (Wes Bentley), dan Romily (David Gyasi). Beserta dua robot yang berbentuk seperti monolith di 2001: A Space Odyssey, TARS (Bill Irwin) dan CASE (Jon Stewart) untuk menemukan rumah baru bagi manusia.

Ia meninggalkan seorang putri dengan rasa kecewa untuk mencoba menyelamatkan manusia dari kepunahan. Setelah planet- planet yang berhasil didatangi tak mampu menyokonng kehidupan bagi kelangsungan umat manusia di arena kosmik ini, Cooper mencoba menyelamatkan Amelia Brand dan membuat dirinya masuk ke dalam blackhole Gargantua dan terjebak di ruang 5 dimensi.

Sejatinya menurut fisika teoritik siapapun dan atau apapun yang masuk ke dalam blackhole akan hancur oleh singularitas. Tapi Nolan menolak untuk memasukan teori tersebut ke dalam filmnya. Di sana, Cooper masuk ke dalam tesseract dan menemukan putrinya yang sedang menangis meratapi kepergiannya dari balik lemari buku--yang Nolan analogikan buku- buku di lemari tersebut sebagai mesin waktu, perpanjangan tangan dari generasi ke generasi lainnya.

Dari sini Cooper mencoba mengirim pesan kepada anaknya dengan kode morse lewat buku- buku di lemari tersebut. Hantu yang selama ini Cooper mencoba cari tahu ternyata adalah dirinya sendiri.

Di film ini juga Nolan memberikan kisah cinta yang bagi saya cukup menarik. Ada line di mana Amelia mencoba memberi pandangan objektif perihal pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh mereka dalam memilih planet mana yang akan dituju, Love is the one thing that transcends time and space. Dan hanya cinta yang mampu menembus kokohnya tembok ruang dan waktu. Itulah yang Cooper rasakan ketika keinginannya untuk hidup dan kembali ke Bumi didasari rasa sayang kepada kedua anaknya terutama Murph, yang tak mengizinkan ia pergi menjelajah samudra ruang angkasa. 

Dalam film ini Nolan menyuguhi kita dengan visualisasi dan sinematografi yang sangat indah akan ruang angkasa. Ada bagian di mana Nolan memvisualisasikan blackhole dengan sangat baik, yang konon hampir mendekati asli. Tapi bagian favorit saya adalah ketika Endurance melewati Saturnus sebelum masuk menembus wormhole meninggalkan sistem tata surya kita. Visualisasi yang menajubkan dari tim grafis Nolan yang konon menghabiskan waktu render sekitar 100 jam dan kapasitas RAM sebesar 10 tb.

Jika kalian membayangkan fllm ini penuh adegan action seperti film Nolan sebelumnya, maka bersiaplah untuk kecewa. Nolan menghadirkan drama yang unik dalam Interstellar. Drama antar galaksi yang tak terbatas ruang dan waktu.
  
Mengingat banyaknya teori fisika teoritik yang disajikan oleh Nolan dan timnya, sebagai panduan sebelum menonton film ini, ada baiknya membaca buku A brief History of Time karya ilmuwan Stephen Hawking atau film buatan Kip Throne yang juga konsultan sains dalam film ini agar tidak blah- bloh di bioskop nanti.





1 comment:

Unknown said...

wah keren saya malah lebih cepat ngerti cerita memento sama inception dripada film ini--

atau mungkin sayanya aja ya yg kurang pinter hehe