Sore itu saya memaksakan diri menembus hujan yang deras. Sama dengan sore di hari- hari yang lainnya, kemacetan melanda setiap ruas jalan kota Bandung. Tepat pukul 17.00 pemutaran film Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer dimulai. Andri sudah menunggu di teras IFI, di sampingnya ada Firman dan seorang wanita yang tidak saya kenal.
Bagi saya pribadi film ini tidak sebaik film sebelumnya, The Act of Killing. Entah karena film ini benar- benar Senyap (Koreksi saya jika salah, tapi saya tidak mendengar sama sekali lagu latar di film ini) atau ekspektasi saya terhadap fil ini terlalu berlebih. Entahlah, kecewa? tidak.
Film ini mengenalkan kita pada sosok Adi, yang kakaknya, Romli, Ketua Buruh Tani Indonesia yang menjadi korban pembataian G30S PKI. Ia dibunuh dengan keji oleh suatu satuan yang disebut Komando Aksi. Adi yang seorang optician mencoba menguak sejarah kelam lewat kaca mata yang ia tawarkan. Ia mendatangi satu persatu orang yang terlibat dalam pembunuhan kakaknya tersebut. Sebuah metaphora yang cantik, menghadirkan tukang kaca mata sebagai korban dan memaksa pelaku penyiksaan untuk melihat dari sudut pandang korban.
Ada perasaan marah ketika seorang pembantai nyawa manusia masih dengan bebas berkeliaran dan bahkan menganggap dirinya sebagai pahlawan. Bahkan satu di antaranya secara berkala dipilih oleh rakyat menjadi ketua DPRD Deli Serdang.
Senyap banyak bercerita tentang rasa ikhlas, bagaimana manusia dipaksa harus belajar memafkan dan merelakan kepergian. Dan kita tahu, berdamai dengan masa lalu bukan lah hal yang gampang, itu semua membutuhkan proses yang panjang.
Bagi saya film ini bukan lagi berbicara soal siapa yg salah dan benar, tapi soal bagaimana sejarah kelam itu tidak terulang, bagaimana suatu bangsa mau tidak mau harus menerima, bahwa mereka punya masa lalu yg kelam. Bagaimana sebuah peradaban menghargai perbedaan dan nyawa seseorang. Sebuah dosa yg harus ditanggung bersama. Tapi bukan berarti kita dengan mudah memaafkan para pelaku kejahatan kemanusian. Karena marawat kemanusiaan berarti merawat sebuah peradaban dan membiarkan kejahatan kemanusiaan berarti merawat kebanalan.
Bagi saya pribadi film ini tidak sebaik film sebelumnya, The Act of Killing. Entah karena film ini benar- benar Senyap (Koreksi saya jika salah, tapi saya tidak mendengar sama sekali lagu latar di film ini) atau ekspektasi saya terhadap fil ini terlalu berlebih. Entahlah, kecewa? tidak.
Film ini mengenalkan kita pada sosok Adi, yang kakaknya, Romli, Ketua Buruh Tani Indonesia yang menjadi korban pembataian G30S PKI. Ia dibunuh dengan keji oleh suatu satuan yang disebut Komando Aksi. Adi yang seorang optician mencoba menguak sejarah kelam lewat kaca mata yang ia tawarkan. Ia mendatangi satu persatu orang yang terlibat dalam pembunuhan kakaknya tersebut. Sebuah metaphora yang cantik, menghadirkan tukang kaca mata sebagai korban dan memaksa pelaku penyiksaan untuk melihat dari sudut pandang korban.
Ada perasaan marah ketika seorang pembantai nyawa manusia masih dengan bebas berkeliaran dan bahkan menganggap dirinya sebagai pahlawan. Bahkan satu di antaranya secara berkala dipilih oleh rakyat menjadi ketua DPRD Deli Serdang.
Senyap banyak bercerita tentang rasa ikhlas, bagaimana manusia dipaksa harus belajar memafkan dan merelakan kepergian. Dan kita tahu, berdamai dengan masa lalu bukan lah hal yang gampang, itu semua membutuhkan proses yang panjang.
Bagi saya film ini bukan lagi berbicara soal siapa yg salah dan benar, tapi soal bagaimana sejarah kelam itu tidak terulang, bagaimana suatu bangsa mau tidak mau harus menerima, bahwa mereka punya masa lalu yg kelam. Bagaimana sebuah peradaban menghargai perbedaan dan nyawa seseorang. Sebuah dosa yg harus ditanggung bersama. Tapi bukan berarti kita dengan mudah memaafkan para pelaku kejahatan kemanusian. Karena marawat kemanusiaan berarti merawat sebuah peradaban dan membiarkan kejahatan kemanusiaan berarti merawat kebanalan.