Sunday, 15 March 2015

#1 Jakarta, Absurditas dan Sisa Sisa Yang Diikhlaskan

Subuh masih menawarkan hening, adzan belum berkumandang dan orang- orang masih terlelap dalam mimpi. Tak ada yang spesial di hari itu, selain harus bergegas mengejar kereta pertama dengan tujuan ibu kota. 

Jakarta selalu mempunyai cerita. Pada setiap kebisingan di pagi hari, di kala lautan manusia secara serentak menjadi sekrup penggerak mesin perusahaan- perusahaan besar. Di rimba- rimba belantara dengan barisan beton yang menjelma menjadi pusat perbelanjaan dan perkantoran. Di lampu- lampu kota yang bersinar menggantikan matahari yang lelah menunjukan dirinya. Di taman- taman kota, di mana kenikmatan hadir hanya dalam semangkuk kecil tahu gejrot saja.

Bagi sebagian orang kota ini adalah mercusuar. Tempat mereka menggantungkan harapan.  Dimana mimpi dipersonifikasikan. Rezeki yang terporsi dibagikan sesuai peran. Ada yang recehan, ada yang miliaran. 

Belum banyak hal yang saya ikhlaskan di kota ini, selain seseorang dan jutaan rupiah yang dihabiskan hanya untuk belanja, makan dan membeli tiket untuk menonton band kesayangan. Pagi itu aga gerimis. Di bawah tiang besi yang besar dan papan reklame sebuah perusahaan rokok, saya dengan sabar menunggu jemputan yang terjebak kemacetan kota Jakarta. "Macet! Tak bisa bergerak" katanya. "Ah, kenapa tak pergi lebih awal. Ya udah, naik busway aja!" Balas saya. Karena waktu yang makin mendesak, saya memutuskan untuk menaiki busway saja.

Tak perlu waktu yang lama bagi saya untuk menyadari betapa ringkihnya ibu kota. Berdesakan di dalam Trans Jakarta bersama mereka yang mengais harapan. Kebanalan pengedara motor dalam setiap jengkal trotoar. Supir Metro Mini yang lupa di mana posisi pedal rem berada. Rumah- rumah kardus di bawah kolong jembatan. Juga ibu- ibu yang tak tahu alamat dan meminta uang "20 ribu saja buat ongkos pulang" yang tentu tidak saya berikan.

Barangkali sudah begini takdirnya kota ini, dihadapkan dengan segala tipe manusia dan keabsurditasannya. Tidak dapat dipisahkan. 

Kata teman, bermimpi itu membutuhkan nyali dan cuma bisa dilakukan oleh orang -orang yang berani. Cuma ada dua opsi. Bertarung habis- habisan atau kalah telanjang. 

Tapi pernahkah kita menyadari bahwa kita adalah sisa- sisa yang diikhlaskan? Doa- doa yang tak/belum menjadi nyata? Mimpi- mimpi yang untuk sementara waktu disimpan hanya untuk berkompromi dengan kehidupan? 

Ah, barangkali di antara kita sudah ada yang cukup dewasa dan mengerti bahwa hidup punya caranya sendiri dalam membawa kita tersesat dalam labirin. Dibenturkan harapan hingga muncul pertanyaan tentang layak atau tidaknya hidup ini diperjuangkan. Di saat itu kita dipaksa untuk membuat keputusan yang sama sekali tidak ekstensialis. Melakukan hal yang kita benci terus - menerus. Hingga hancur menabrak karang.

Kita tahu betapa kompleksnya hidup ini, saya juga pernah berjuang dan kalah, pernah disakiti, dihancurkan oleh harapan yang saya bangun dan saya pupuk sendiri.  Setelah itu semua, tak mudah bagi saya untuk bisa berdiri kembali.

Terkadang melihat tipisnya harapan, di suatu kondisi, di mana tak ada lagi jalan untuk memutar memang memuakan. Tapi selagi harapan itu masih ada, seberapa tipisnya itu, bukanlah soal. Harapan memang tak bisa dimakan, tapi setidaknya itu membuat kita bertahan. Satu- satunya kebaikan yang tersisa dari kotak yang dibuka Pandora.

Untuk kawan- kawan yang sedang berjuang diperantauan, jangan menyerah ada banyak jalan untuk "pulang".