Thursday, 31 December 2015

2015, Kamu, Kuliah dan Hal- Hal yang Harus Dituntaskan

Segalanya seperti bergegas, padahal saya ingin merayap, merasakannya dengan perlahan. Namun toh waktu memang berjalan ke depan, tak pernah mau mundur kebelakang.

Konon, dalam mitologi Yunani, segala penderitaan yang ada di muka Bumi ini hadir gara- gara Pandora membuka kotak yang dititipkan Zeus kepadanya. Awalnya ia menuruti perintah Zeus. Namun rasa keingintahuan yang besar, yang diberikan Hera kepadanya membuat hatinya goyah. Lalu segala keburukan dan penderitaan yang sekarang ada di muka Bumi ini berhamburan keluar dari kotak itu.

Sadar apa yang telah dilakukannya salah, Pandora mencoba menutup kembali kotak tersebut. Tapi masih ada sesuatu yang tersisa. Lalu Ia mengeluarkannya dari kotak tersebut. Sesuatu itu bernama harapan. Sesuatu yang tidak bisa dimakan tapi mampu membuat manusia bertahan. 

Mulai dari saat itulah manusia mempunyai sebuah senjata dalam menghadapi penderitaan, yaitu harapan. Sesuatu yang selalu mereka jadikan senjata dalam menghadapi kenyataan untuk memperbesar kemungkinan. Sesuatu yang manusia simpan dan pupuk di dalam hatinya walaupun mereka tahu tipis dapat tumbuh menjadi sesuatu yang nyata. 

Saya memulai tahun 2015 dengan terlalu banyak persoalan. Seperti jamur di musim hujan, perlahan- lahan satu per satu masalah terus berdatangan. Saya masih ingat, di pertengahan bulan Desember tahun 2014, saat menangis sendirian di pojok sofa ruang kerja kamar saya. Ada dua keputusan yang harus saya buat dengan cepat. Menutup perusahaan atau pivot dengan dana yang sangat terbatas. Saat itu adalah bulan kedua pegawai yang bekerja belum menerima gaji mereka, termasuk saya dan Andri. Walaupun bisnis model startup yang kami bangun berhasil divalidasi (go-food, instacart, foodpanda berhasil) lambatnya mengeluarkan produk menjadi salah satu penyebab kami gagal. 

Lalu saya lupa, record label yang saya bangun dari semenjak keluar SMA, mempunyai kewajiban yang belum terselesaikan. Ada deal dengan Grimloc untuk merilis mini album Eyes of War secara kolektif. Standfree yang harus merilis album dan melakukan tur Asia Tenggara. Lalu deal dengan Bane untuk tampil di Indonesia. Hingga urusan cinta dan akademik yang membuat awal 2015 semakin runyam. 

Lalu banyak keadaan yang berubah total. Ada banyak hal yang tak bisa saya kontrol dengan pelan- pelan. Beberapa urusan dengan teman yang ternyata toh memang terlalu rumit untuk diselesaikan. Berat badan saya turun 10 kg. Tidur hanya 2 hingga 4 jam. 2 tenggat waktu skripsi saya lewatkan. Bingung untuk pergi ke kantor atau kuliah (Saya masih punya hutang 3 mata kuliah yang dengan tiba- tiba nilainya hilang entah ke mana). Saat itu saya seperti tokoh 'aku' di buku Catatan dari Bawah Tanah karangan Fyodor Dostoyevski. Sakit tanpa tahu apa penyakitnya. 

Benihnya baru muncul saat semuanya ada di penghujung cerita. Perkenalan yang singkat dan berada di posisi yang sama membuat kami berdua menemukan rasa nyaman. Tapi suatu malam saya lupa. Gawai yang saya bawa tertinggal di kursi jok mobilnya. Lalu segalanya berubah. Foto seseorang yang belum dihapus membuat keadaan 180 derajat berubah. Semuanya terpaksa diakhiri dengan perdebatan di sebuah meja makan sebuah restoran. Lalu segala pesan hanya dibalas dengan balasan singkat. Kami memutuskan jalan kami masing- masing. Ia ke depan dan saya mundur ke belakang.

Saya mundur  ke belakang dengan rasa penasaran yang besar, seperti telur yang ingin dipecahkan. Saya sadar, momentumnya sudah jauh terlewat. Saya melewatkan banyak momen spesialnya. Di beberapa kesempatan, saya mengabaikannya dengan sengaja, tentu karena keadaan yang memaksa. Lalu pertanyaan yang ingin saya lontarkan dari jauh- jauh hari itu akhirnya mempunyai jawaban walau belum memuaskan. Bagi saya jawabannya kemarin belum lah tuntas. Walaupun menurutnya hal tersebut tak perlu dijelaskan, tapi masih ada hal- hal yang bagi saya yang belum bisa membuat saya terjelaskan.


***

Yap, ingatan memang tak bisa mengembalikan waktu yang hilang. Baru di awal September saya bisa bernafas dengan nyaman. Secara finansial maupun mental. Saya bisa dengan leluasa pergi ke kampus. Mengerjakan revisian skripsi yang tertunda selama hampir satu tahun lamanya.

Menolak tawaran pekerjaan di dua perusahaan media besar dan satu di sebuah startup lokal. Padahal segala tahapan seleksinya sudah saya selesaikan dengan mengorbankan 2 UTS karena harus berada di Jakarta tepat jam 9 pagi. Lucunya, saya menolak dengan alasan ingin menyelesaikan kuliah. Misi yang belum bisa saya selesaikan di penghujung tahun 2015. Tapi ingin saya tuntaskan setidaknya paling telat di pertengahan tahun 2016. Lalu menuntaskan mimpi- mimpi yang (pernah) mati.

Saya tahu gagal adalah bagian dari usaha. Tahun 2015 banyak memberi saya pelajaran berarti, saat kita ada di puncak angin akan terasa begitu kencang. Saya juga gembira 2015 telah usai. Awal 2016 saya punya banyak mimpi yang mengantri untuk diselesaikan. Jika tak ada aral melintang ada beberapa kesempatan ke Vietnam dan London yang tak ingin saya lewatkan. Semoga, dengan secepatnya.


"What's done is done, the night takes everyone" - Bane, Calling Hours.