Sering ditanya, gimana buku Dilan, gimana buku Milea karangan Pidi Baiq. Ok ini jawaban saya:
1. Saya membaca Dilan, tapi tidak beres. Ceritanya biasa, bagi saya terlalu teenlit. Saya baca juga gara- gara penasaran tapi kemudian saya berikan ke ponakan saya. Terakhir buku teenlit yang saya baca itu, Perahu Kertas-nya Dewi Lestari, itu juga gara- gara deketin cewe buat bobo eh jalan bareng yang kemudian berakhir jadi mantan.
2. Penggunaan bahasa yang kurang sreg, kalo mau baku yah baku sekalian, klo mau slang, yah slang aja sekalian.
3. Jalan ceritanya juga mirip film- film remaja nanggung yang gemes- gemesan. Bagi saya generasi milenial yang sudah berumur seperempat abad, it's not kind of my thing anymore.
3. Jelek ga? kurang tau, silakan baca sendiri, bagi saya seeh tidak ada yang istimewa. Dari segi cerita yang bikin saya cepat bosan dan genre teenlit yang bukan konsumsi saya lagi. Bagi saya kurang menarik walau tetap Pidi Baiq masih salah satu copywriter terbaik di Indonesia menurut saya.
Monday, 7 November 2016
Thursday, 14 April 2016
Kita dan Mereka yang Dipariahkan
Mimpi terkadang menyesatkan, membawa kita ke tempat yang tak pernah kita bayangkan, namun, selalu ada keajaiban bagi mereka yang benar- benar menginginkannya dan mencoba meraihnya.
Siapapun pernah merasa terbuang, dicampakan, diremehkan, tak dianggap karena bodoh, aneh, miskin, lemah atau kombinasi semuanya. Jika Anda belum pernah, coba sekali saja, rasakan berada di posisi itu. Tak perlu lama- lama, cukup satu hari saja. Lalu nilailah diri anda, apa benar Anda seburuk itu. Jika benar, butuh seberapa besar harapan untuk anda lari dengan kemungkinan untuk memperbesar kemungkinan dari segala ketidakmungkinan.
Siapapun pernah merasa terbuang, dicampakan, diremehkan, tak dianggap karena bodoh, aneh, miskin, lemah atau kombinasi semuanya. Jika Anda belum pernah, coba sekali saja, rasakan berada di posisi itu. Tak perlu lama- lama, cukup satu hari saja. Lalu nilailah diri anda, apa benar Anda seburuk itu. Jika benar, butuh seberapa besar harapan untuk anda lari dengan kemungkinan untuk memperbesar kemungkinan dari segala ketidakmungkinan.
Selalu ada oligarki, di manapun itu, dalam rimba- rimba belantara, beton- beton tinggi kota Jakarta atau bahkan dalam miniatur hidup rumput- rumput hijau lapangan sepakbola. Bagi siapapun yang ingin menantangnya dan mencoba meruntuhkan hegemoni si penguasa harus siap compang- camping dipermalukan atau kalah telanjang.
Saya sama sekali belum pernah menginjakan kaki di kota Leicester, sama sekali belum pernah. Namun, jika dilihat dari penelaahan singkat saya di Google, tak ada hal yang begitu istimewa di kota tersebut. Dari data di wikipedia, daerah tersebut penuh dengan para imgiran dari berbagai belahan dunia. Sedikit berada di tengah, sering dianggap bukan menjadi bagian dari Utara Inggris yang metropolis. "You're just a town full of Paki, town full of Paki." Begitu teriak ejekan sebagian suporter sepakbola yang menurut saya pribadi cenderung rasis.
Lalu apa persamaan Leicester dengan mereka para terbuang? Dengan mereka yang dipariahkan.
Bagi para imigran, Leicester adalah kota Harapan. Kota di mana mereka dapat membangun kembali hidup mereka dari awal. Begitu pula bagi mereka para pesepakbola. Leicester sekarang, adalah tempat mereka membangun karir setelah dibuang. Seperti kata Yusuf Arifin, mereka melakukan ini semua dengan rasa kebersamaan tanpa rasa congak. Leicester adalah tempat yang selalu menawarkan harapan bagi siapapun yang mencoba mencari peruntungan. Begitu juga dalam sepakbola, Leicester City adalah tempat penampungan yang menawarkan harapan bagi mereka yang tersisihkan dan dibuang.
Bagi para imigran, Leicester adalah kota Harapan. Kota di mana mereka dapat membangun kembali hidup mereka dari awal. Begitu pula bagi mereka para pesepakbola. Leicester sekarang, adalah tempat mereka membangun karir setelah dibuang. Seperti kata Yusuf Arifin, mereka melakukan ini semua dengan rasa kebersamaan tanpa rasa congak. Leicester adalah tempat yang selalu menawarkan harapan bagi siapapun yang mencoba mencari peruntungan. Begitu juga dalam sepakbola, Leicester City adalah tempat penampungan yang menawarkan harapan bagi mereka yang tersisihkan dan dibuang.
Anda boleh saja mendukung Real Madrid dan Barcelona. Manchester City, Liverpool atau bahkan West Ham. Tapi bagi siapapun, mungkin yang tak sering menonton sepakbola pun akan terenyuh melihat perjuangan para pasukan rubah kota Leicester ini.
Siapalah itu Drinkwater, James Vardy, Mahrez, Albrighton, Huth atau pelatih mereka, Ranieri yanag hanya seorang pesakitan yang lebih sering menjadi pecundang. Sebelum melatih Leicester, prestasinya bersama Yunani adalah membawa Yunani kalah dari tim semenjana Kepualauan Faroe di kualifikasi Piala Eropa 2016.
Drinkwater, selain namanya yang aneh, Ia dianggap tak berkembang sehingga tidak diberi kesempatan untuk menembus skuad pertama Manchester United. Setelah melewati masa nomaden (pinjaman) dari musim ke musim, semenjak 2012 hingga musim ini Ia akhirnya berlabuh di Leicester.
Jamie Vardy? Siapa lagi orang ini. 4 tahun lalu ia masih bermain di kasta ke empat liga Inggris bersama klub Fletwood Town dan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Pesakitan yang hampir menyerah karena dianggap tak mempunyai bakat di sepakbola ini, sekarang menjelma sebagai penyerang berbahaya di salah satu liga terbaik di dunia, kini Ia tengah menunggu filmnya untuk diadaptasi ke layar lebar. Namanya kini berada di urutan atas penyerang liga Inggris dengan gol sebanyak, 21 gol.
Coba bayangkan. Anda lahir di kota yang kecil, di mana klub sepakbolanya tidak mempunyai kebanggan sama sekali. Dengan modal yang kecil dan mesti bertarung melawan tim- tim sugar daddy dengan dana yang hampir tidak terbatas. Salah satu target yang realistis adalah bertahan di kasta tertinggi. Gary Lineker, dalam tulisannya di The Guardian Ia mencurahkan segala perasaannya itu.
Dalam tulisannya itu, Ia bercerita, di masa kecilnya Ia pulang dengan keadaan menangis karena melihatnya timnya kalah di final Piala FA tahun 1969. Bermain untuk Leicester selama delapan tahun mempunyai kebanggan tersendiri baginya dibanding bermain bagi Barcelona. Seumur hidupnya, Ia melihat Leicester jatuh bangun, dari promosi hingga degradasi. Momen ini adalah salah satu momen tersureal yang pernah Ia rasakan. "10 points. I think I might Cry."
Apa yang Gary Lineker rasakan mungkin berlaku juga bagi pendukung Leicester lainnya. Itu pula yang membuat Claudio Ranieri menangis sesuasi pertandingan melawan Sunderland. Ia melihat kakek-nenek yang datang ke stadion memakai baju Leicester untuk mendukung mereka. Satu kota bersatu untuk mendukung mereka. Momen itu juga pernah saya rasakan di Jakabaring 2014 lalu. Entah kenapa, tiba- tiba air mata menetes jatuh di pipi. Orang- orang di samping saya saling berpelukan walau tak mengenal satu sama lain, menangis haru, penantian 19 tahun terbayar sudah. Seperti dendam rindu memang harus dibayar tuntas.
Masih ada 5 pertandingan tersisa. Nanti, jika Leicester juara, apa yang dilakukan Leicester adalah keajabian di sepakbola modern. Sesuatu yang jarang terjadi yang mungkin hanya akan terulang setiap seratus tahun sekali. Klub kecil di pedalaman Ingris yang berhasil melawan hegemoni klub- klub besar dengan dukungan dana yang melimpah. Seperti kata Pangeran Siahaan, Leicester adalah kita. Gambaran miniatur hidup di lapangan hijau bagi manusia- manusia yang pernah merasa gagal dan putus asa. Dengan asa yang tersisa mereka membalikan fakta, dengan sisa- sisa harapan yang tercecer mereka mambangun jalan menuju tangga juara. Seperti kata Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya yang berjudul No ones Writes to The Colonel "Harapan memang tidak bisa dimakan, namun itu membuat kita bertahan."Dan peran Ranieri bersama pasukan rubahnya itu adalah membawa para pendukung Leicester terus bermimpi dan berharap serta merealisasikan mimpi mereka menjadi kenyataan.
***
Coba bayangkan. Anda lahir di kota yang kecil, di mana klub sepakbolanya tidak mempunyai kebanggan sama sekali. Dengan modal yang kecil dan mesti bertarung melawan tim- tim sugar daddy dengan dana yang hampir tidak terbatas. Salah satu target yang realistis adalah bertahan di kasta tertinggi. Gary Lineker, dalam tulisannya di The Guardian Ia mencurahkan segala perasaannya itu.
Something extraordinary is happening in the world of football. Something that defies logic. Something truly magical. Something that makes me well up with emotion because this something is happening to my team. The team I have supported since I was the size of a multipack of crisps.
Dalam tulisannya itu, Ia bercerita, di masa kecilnya Ia pulang dengan keadaan menangis karena melihatnya timnya kalah di final Piala FA tahun 1969. Bermain untuk Leicester selama delapan tahun mempunyai kebanggan tersendiri baginya dibanding bermain bagi Barcelona. Seumur hidupnya, Ia melihat Leicester jatuh bangun, dari promosi hingga degradasi. Momen ini adalah salah satu momen tersureal yang pernah Ia rasakan. "10 points. I think I might Cry."
Apa yang Gary Lineker rasakan mungkin berlaku juga bagi pendukung Leicester lainnya. Itu pula yang membuat Claudio Ranieri menangis sesuasi pertandingan melawan Sunderland. Ia melihat kakek-nenek yang datang ke stadion memakai baju Leicester untuk mendukung mereka. Satu kota bersatu untuk mendukung mereka. Momen itu juga pernah saya rasakan di Jakabaring 2014 lalu. Entah kenapa, tiba- tiba air mata menetes jatuh di pipi. Orang- orang di samping saya saling berpelukan walau tak mengenal satu sama lain, menangis haru, penantian 19 tahun terbayar sudah. Seperti dendam rindu memang harus dibayar tuntas.
Masih ada 5 pertandingan tersisa. Nanti, jika Leicester juara, apa yang dilakukan Leicester adalah keajabian di sepakbola modern. Sesuatu yang jarang terjadi yang mungkin hanya akan terulang setiap seratus tahun sekali. Klub kecil di pedalaman Ingris yang berhasil melawan hegemoni klub- klub besar dengan dukungan dana yang melimpah. Seperti kata Pangeran Siahaan, Leicester adalah kita. Gambaran miniatur hidup di lapangan hijau bagi manusia- manusia yang pernah merasa gagal dan putus asa. Dengan asa yang tersisa mereka membalikan fakta, dengan sisa- sisa harapan yang tercecer mereka mambangun jalan menuju tangga juara. Seperti kata Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya yang berjudul No ones Writes to The Colonel "Harapan memang tidak bisa dimakan, namun itu membuat kita bertahan."Dan peran Ranieri bersama pasukan rubahnya itu adalah membawa para pendukung Leicester terus bermimpi dan berharap serta merealisasikan mimpi mereka menjadi kenyataan.
Subscribe to:
Posts (Atom)