Saya masih ingat kata- kata saya di twitter
kepada Jani, Ancha, Rangga, Hilman dan Echa saat mereka melepas label mahasiswa
mereka: The best way to be free is to be educated. Yap, pendidikan adalah salah satu cara melepas
kita dari ruang lingkup kebodohan. Begitu pula ucapan Imanuel Kant. Man Can Become Man Through Education Only.
Saya
dan Adi sedang duduk sambil mengamati isi tulisan di laptop kami masing- masing
malam itu. Adi memberi sebuah pekerjaan kepada saya sambil mencoba memaparkan
job desk saya nanti, dimana saya kudu menggantikannya berlibur sambil bekerja
ke daerah Indonesia bagian timur karena ia harus balik kembali bersekolah ke Belgia.
Tapi
malam itu sebuah acara di televisi mengalihkan perhatian saya dan Adi, acara
itu bercerita tentang betapa buramnya potret pendidikan di Indonesia saat ini.
Pendidikan bukan lagi soal mencerdaskan anak bangsa tapi lebih kepada
kesempatan antara si kaya dan si miskin. Antara yang beruntung dengan yang
buntung.
Saya
dan Adi adalah orang yang beruntung, mungkin sangat beruntung, lahir di
keluarga yang cukup mapan, kedua orang tua kami mampu menyekolahkan anak-
anaknya hingga ke perguruan tinggi. Bahkan ayah saya sudah mewanti- wanti dan
memberi tenggat waktu untuk segera lulus dan meneruskan ke jenjang yang lebih
tinggi agar ia bisa membiayainya selagi bisa. Adi, teman satu profesi saya saat ini, sekarang sedang
mengejar gelar masternya dalam bidang kedokteran di sebuah Universitas di
Belgia sana, dengan modal uang Rp 30 juta, Ia melancong untuk mengenyam pendidikan
yang lebih baik di sebrang lautan sana. Pernah dalam suatu pertemuan Ia
bercerita tentang pilihannya sekolah ke luar negeri di banding di Indonesia:
tentu saja soal biaya. Di sana Ia bisa membiayai hidup dan sekolahnya dari
menjalani profesi sebagai tukang tekel (Ini istilah yang kami buat sendiri
ketika mendapat proyek menulis atau mengerjakan sesuatu sesuai keahlian kami)
sambil sesekali menonton band dan klub sepak bola favoritnya.
Dari hasil diskusi dua jam tersebut kami berdua
sepakat: pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari kata sempurna, bahkan
alih- alih membuat manusia menjadi manusia, pendidikan yang ada sekarang justru
membuat manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Seringkali tidak
memanusiakan manusia. Pendidikan hanya dapat menyentuh individu yang mampu
secara finansial. Tapi bagi mereka yang kurang mampu atau miskin secara
finansial, tamat SMA pun adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam hal
pendidikan.
Hal inilah yang menjadikan dunia pendidikan
sebagai alat peraup keuntungan bagi pemilik modal. Kapitalisasi dunia
pendidikan membawa kita pada persepsi bahwa pendidikan formal adalah satu-
satunya jalan dan harapan untuk mengubah status ekonomi manusia. Tanpa sadar
dunia yang kita huni ini telah membawa jurang antara si kaya dan si miskin
menjadi semakin lebar. Dimana si miskin secara finansial hanya dapat mencapai
pendidikan sampai batas tertentu dan yang kuat secara finansial bebas memilih
batas dimana ia akan berhenti. Ini bukan lagi soal mau tak mau tapi soal
kesempatan yang didapat. Dengan dalih administrasi, sekolah akan menutup pintu
bagi kaum proletar, kaum yang tertindas secara finansial.
Itu juga yang menjadi konsren Ivan Illich dalam
bukunya Deschooling Society, dimana ia berujar, pendidikan yang ada saat ini
telah mengalienisasi peserta didiknya dari lingkungan sekitarnya. Pendidikan
hanya alat dagang yang dijajakan untuk meraup keuntungan. Pelayan kapitalisme. Menurut
Illich sistem pendidikan yang ada saat ini lebih berorientasi pada kepentingan
pemilik modal dan bukan lagi sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Kita diprogram agar dapat bersaing sebagai robot
yang mampu melakukan perintah dengan baik dan benar. Kita dipaksa untuk
mengikuti kebutuhan industri agar sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Wahono dalam kritiknya di buku Penjiarahan
Panjang Humanisme Mangunwijaya mengatakan, bahwa pendidikan di negeri ini lebih
berpola pada pendidikan model anjing. Dimana sistem pendidikan yang ada saat
ini lebih bersifat hafalan, sistem komando, subordinasi dan militeristik.
Dimana siswa hanya dijadikan objek kepatuhan sang guru, dimana yang patuh
berhak mendapatkan reward sementara yang kritis layak diberi punishment.
Sisi kreatif kita dikekang, tak boleh keluar.
Lihatlah, tak sedikit orang tua yang berpikir, bahwa sekolah seni tak akan
menghasilkan apa- apa selain menjadi perupa. Orang tua lebih senang anaknya
sekolah kedokteran, hukum atau teknik dengan harapan akan mendapat gaji yang
“layak” sesuai dengan uang yang telah mereka keluarkan.
Ini pula yang membuat masyarakat kita
memberhalakan ijazah, yang kerap kali menjadi ujung tombak untuk mendapatkan pekerjaan, seakan- akan tanpa
kertas tersebut ia tak mampu mendapat kehidupan yang layak. Maka tak heran jika
biaya pendidikan saat ini sangat mahal yang membuat individu yang miskin secara
finansial tak dapat menyentuh salah satu hal yang paling hakiki di dunia ini,
sesuatu bernama pendidikan. Lihatlah perbedaan biaya S1 sekolah kedokteran di
Belgia dengan di Indonesia, sangat timpang.
Entah, tapi sekali lagi saya dan Adi adalah dua orang yang beruntung lahir
di keluarga yang mampu secara finansial sehingga dapat mengenyam pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi dan mempunyai label maha di depan kata siswa. Kami
pun beruntung bisa bekerja dengan orang- orang yang pintar tanpa memedulikan
ijazah yang kami punya. Mendapat bayaran yang layak, sehingga kami mampu
membeli kaos dan menonton musisi favorit kami, membeli barang- barang seperti
mainan untuk memuaskan hasrat kami. Melakukan hobi seperti travelling agar otak
kami tidak stress dan hal yang terpenting, kini kami mampu membiayai biaya
kuliah kami sendiri.