Thursday, 31 July 2014

Menggugat Sistem Pendidikan di Indonesia


Saya masih ingat kata- kata saya di twitter kepada Jani, Ancha, Rangga, Hilman dan Echa saat mereka melepas label mahasiswa mereka: The best way to be free is to be educated. Yap, pendidikan adalah salah satu cara melepas kita dari ruang lingkup kebodohan. Begitu pula ucapan Imanuel Kant. Man Can Become Man Through Education Only.
Saya dan Adi sedang duduk sambil mengamati isi tulisan di laptop kami masing- masing malam itu. Adi memberi sebuah pekerjaan kepada saya sambil mencoba memaparkan job desk saya nanti, dimana saya kudu menggantikannya berlibur sambil bekerja ke daerah Indonesia bagian timur karena ia harus balik kembali  bersekolah ke Belgia.

Tapi malam itu sebuah acara di televisi mengalihkan perhatian saya dan Adi, acara itu bercerita tentang betapa buramnya potret pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan bukan lagi soal mencerdaskan anak bangsa tapi lebih kepada kesempatan antara si kaya dan si miskin. Antara yang beruntung dengan yang buntung.
Saya dan Adi adalah orang yang beruntung, mungkin sangat beruntung, lahir di keluarga yang cukup mapan, kedua orang tua kami mampu menyekolahkan anak- anaknya hingga ke perguruan tinggi. Bahkan ayah saya sudah mewanti- wanti dan memberi tenggat waktu untuk segera lulus dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi agar ia bisa membiayainya selagi bisa. Adi, teman satu profesi saya saat ini, sekarang sedang mengejar gelar masternya dalam bidang kedokteran di sebuah Universitas di Belgia sana, dengan modal uang Rp 30 juta, Ia melancong untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik di sebrang lautan sana. Pernah dalam suatu pertemuan Ia bercerita tentang pilihannya sekolah ke luar negeri di banding di Indonesia: tentu saja soal biaya. Di sana Ia bisa membiayai hidup dan sekolahnya dari menjalani profesi sebagai tukang tekel (Ini istilah yang kami buat sendiri ketika mendapat proyek menulis atau mengerjakan sesuatu sesuai keahlian kami) sambil sesekali menonton band dan klub sepak bola favoritnya.

Dari hasil diskusi dua jam tersebut kami berdua sepakat: pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari kata sempurna, bahkan alih- alih membuat manusia menjadi manusia, pendidikan yang ada sekarang justru membuat manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Seringkali tidak memanusiakan manusia. Pendidikan hanya dapat menyentuh individu yang mampu secara finansial. Tapi bagi mereka yang kurang mampu atau miskin secara finansial, tamat SMA pun adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam hal pendidikan. 

Hal inilah yang menjadikan dunia pendidikan sebagai alat peraup keuntungan bagi pemilik modal. Kapitalisasi dunia pendidikan membawa kita pada persepsi bahwa pendidikan formal adalah satu- satunya jalan dan harapan untuk mengubah status ekonomi manusia. Tanpa sadar dunia yang kita huni ini telah membawa jurang antara si kaya dan si miskin menjadi semakin lebar. Dimana si miskin secara finansial hanya dapat mencapai pendidikan sampai batas tertentu dan yang kuat secara finansial bebas memilih batas dimana ia akan berhenti. Ini bukan lagi soal mau tak mau tapi soal kesempatan yang didapat. Dengan dalih administrasi, sekolah akan menutup pintu bagi kaum proletar, kaum yang tertindas secara finansial.

Itu juga yang menjadi konsren Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society, dimana ia berujar, pendidikan yang ada saat ini telah mengalienisasi peserta didiknya dari lingkungan sekitarnya. Pendidikan hanya alat dagang yang dijajakan untuk meraup keuntungan. Pelayan kapitalisme. Menurut Illich sistem pendidikan yang ada saat ini lebih berorientasi pada kepentingan pemilik modal dan bukan lagi sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Kita diprogram agar dapat bersaing sebagai robot yang mampu melakukan perintah dengan baik dan benar. Kita dipaksa untuk mengikuti kebutuhan industri agar sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. 

Wahono dalam kritiknya di buku Penjiarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya mengatakan, bahwa pendidikan di negeri ini lebih berpola pada pendidikan model anjing. Dimana sistem pendidikan yang ada saat ini lebih bersifat hafalan, sistem komando, subordinasi dan militeristik. Dimana siswa hanya dijadikan objek kepatuhan sang guru, dimana yang patuh berhak mendapatkan reward sementara yang kritis layak diberi punishment.

Sisi kreatif kita dikekang, tak boleh keluar. Lihatlah, tak sedikit orang tua yang berpikir, bahwa sekolah seni tak akan menghasilkan apa- apa selain menjadi perupa. Orang tua lebih senang anaknya sekolah kedokteran, hukum atau teknik dengan harapan akan mendapat gaji yang “layak” sesuai dengan uang yang telah mereka keluarkan.
Ini pula yang membuat masyarakat kita memberhalakan ijazah, yang kerap kali menjadi ujung tombak untuk  mendapatkan pekerjaan, seakan- akan tanpa kertas tersebut ia tak mampu mendapat kehidupan yang layak. Maka tak heran jika biaya pendidikan saat ini sangat mahal yang membuat individu yang miskin secara finansial tak dapat menyentuh salah satu hal yang paling hakiki di dunia ini, sesuatu bernama pendidikan. Lihatlah perbedaan biaya S1 sekolah kedokteran di Belgia dengan di Indonesia, sangat timpang.

Entah, tapi sekali lagi saya dan Adi adalah dua orang yang beruntung lahir di keluarga yang mampu secara finansial sehingga dapat mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan mempunyai label maha di depan kata siswa. Kami pun beruntung bisa bekerja dengan orang- orang yang pintar tanpa memedulikan ijazah yang kami punya. Mendapat bayaran yang layak, sehingga kami mampu membeli kaos dan menonton musisi favorit kami, membeli barang- barang seperti mainan untuk memuaskan hasrat kami. Melakukan hobi seperti travelling agar otak kami tidak stress dan hal yang terpenting, kini kami mampu membiayai biaya kuliah kami sendiri.

Friday, 4 July 2014

Mah, Pah! Maaf. Tapi Kali Ini Kita Bersebrangan


Bagi Hobbes, manusia bukanlah mahluk sosial, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) karena manusia mempunyai naluri untuk mempertahankan dirinya masing- masing. Dalam bukunya yang sangat terkenal yang berjudul “Leviathan”, Hobbes menganalogikan binatang buas dalam mitologi Timur Tengah tersebut sebagai simbol negara, karena bagi Hobbes negara haruslah berkuasa dan ditakuti oleh rakyatnya, karena dengan cara itulah rakyat akan tunduk seutuhnya.

Masih menurut Hobbes dalam bukunya tersebut, pada suatu titik negara akan berhenti melindungi rakyatnya dan akan memulai menegakan keadilan dengan cara kekerasan dan represi, di sini lah Negara berubah menjadi monster yang buas, yang siap meneror dan memangsa siapa yang tak patuh pada perintahnya seperti halnya Leviathan.


Hari itu merupakan hari yang cukup panjang dan melelahkan bagi saya, pekerjaan yang menumpuk, membuat saya terlalu malas untuk melangkah ke kamar atas dan memilih untuk menonton televisi dan tiduran di ruang keluarga. Saat itu ada Ayah, Ibu dan anak buah ayah saya , Ende, duduk di ruang keluarga.

Diskusi dimulai ketika salah satu dari kami melempar pertanyaan siapa yang layak memimpin negeri ini, di antara kedua capres yang ada. Saya tak menjawab, saat itu saya belum memutuskan untuk memilih Jokowi atau tetap abstain seperti sebelumnya. Semua orang yang berada di ruangan itu kecuali saya seperti sepakat dan mengamini, Prabowo adalah orang yang tepat untuk memimpin negeri ini, menurut mereka ketegasan yang Prabowo punya mungkin bisa merubah peruntungan Negara Indonesia ini. Tindakan kekerasan dan represi jika diperlukan adalah salah kedua alasannya.

Betapa terkejutnya saya, keluarga saya yang mendidik saya dengan kelembutan tanpa pernah ada satu bogem mentah melayang ke muka saya itu bisa berpendapat demikian. Ok, saya memang dibesarkan dalam keluarga yang konservatif tapi tak pernah sekalipun mereka melarang saya membaca buku, apapun judul dan isi buku tersebut.

Malam itu kami berdebat cukup panjang, satu perdebatan tentang ideologi politik yang saya nikmati walau melelahkan sekaligus mengecewakan  bagi saya secara pribadi. Bukan soal pilihan mereka terhadap Prabowo dan Hatta, tapi pilihan mereka terhadap alasan kenapa Prabowo layak memimpin negara ini. Bahwa negara butuh seorang yang tegas, yang bisa melakukan kekerasan dan represi jika diperlukan dan menjadi monster agar keadilan dapat terlaksana. 

Entah, tapi saya yakin, mereka lupa soal cerita yang sering mereka ceritakan, tentang Petrus di tahun 80an. Saat itu, banyak orang yang dianggap preman dibunuh dan dibuang layaknya sampah. Seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, ada rindu tak terbalas yang berbekas dalam keluarga yang ditinggalkan.

Mungkin saya salah, mungkin. Tapi bagaimana mungkin mereka dengan mudah memaafkan orang yang berjasa menghilangkan nyawa ribuan manusia atas nama kedaulatan dan stabilitas Negara?

Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka besarkan dan diberi makan dengan keringat mereka ini hilang saat membaca buku yang dilarang oleh orang yang mereka dukung ?

Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka timang dengan penuh kasih sayang ini harus meregang nyawa karena berpikir kritis terhadap pemerintahan yang mereka dukung?

Mungkin saya salah soal Prabowo nanti, akan tetapi ketakutan saya menjadi wajar jika melihat penegakan HAM saat ini, di negara ini. Bagaimana orang- orang yang terlibat dalam pembantaian DOM di Aceh dan Santa Cruz di Timor Timur bisa melenggang dengan bebas mencalonkan diri menjadi presiden tanpa diadili di pengadilan. Ini bukan soal Prabowo personal, toh, jika Wiranto mencalonkan diri pun saya akan tetap berdiri di sisi yang sama seperti saat ini.

Tanpa mengurangi rasa cinta dan rasa sayang saya kepada kalian, mohon maaf kali ini kita bersebrangan, mungkin saya abstain atau memilih calon presiden dari kubu yang berlawanan dengan kalian. Tapi seperti yang kalian ajarkan soal perbedaan pendapat, adalah hal lumrah jika diantara kita berbeda pendapat. Itu hak kalian dalam memilih nomor satu atau dua. Maka seperti soal fasisme yang anak kalian lawan, maka tak mungkin saya memaksakan kehendak saya pada kalian. Toh, jika saya bertindak seperti itu, maka apa bedanya saya dengan mereka yang saya lawan? bertindak fasis sedari dalam pikiran.
Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara anak sulung kalian yang bersebrangan pendapat dengan kalian.

Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara pagar yang dibuka oleh anak sulung kalian setiap malam, karena berpikir kritis terhadap pemerintahan yang kalian dukung.

Mungkin, salah satu dari kalian akan berdiri di depan istana, pada setiap kamis sore, layaknya ibu- ibu yang rindu akan kehadiran anak dan suami mereka untuk pulang.

Tapi mungkin saya salah soal Prabowo. Mungkin saya terlalu berlebihan. Mungkin? 

“semoga”.