Wednesday, 31 July 2013

International You Day: Sebuah Ode Untuk Tony Sly

Sebagai anak muda yang lahir di era 90an dan mengenal musik punk siapa yang tak terpesona dengan lirik dan musik yang dibuat oleh Tony Sly. Pemilihan lirik dengan diksi- diksi yang indah dan dibalut dengan nada- nada minor, cukup membuat musik punk begitu melankolis di telinga.

Berkenalan dengannya di album More Betterness dalam sebuah kaset yang dibeli di Dewi Sartika, hasil tabungan uang jajan satu minggu saat saya masih duduk di kelas dua SMP, cukup membuat takjub telinga saya waktu itu. Not Your Savior yang menjadi lagu pembuka, berhasil mengoyak- ngoyak hati dan telinga saya.

1 tahun yang lalu, begitu terkejutnya saya saat linimasa di twitter mengabarkan bahwa frontman No Use For A Name ini wafat saat sedang melakukan tur bersama kolega sekaligus sahabatnya sejatinya Joey Cape. Status bbm pun penuh dengan ucapan belasungkawa seolah- olah ia adalah seorang teman lama yang cukup kami kenal. Berempati pada keluarganya yah, mungkin. Tapi yang pasti kami bakal merindukan karya- karyanya yang begitu indah.

Saya tak mengenalnya secara pribadi, tapi karya- karyanya cukup memberi warna di masa ABG saya. Yah itu yang menjadi alasan bahwa saya akan merindukannya. Dan saya cukup beruntung pernah menyakasikan ia tampil didepan kedua mata saya.

Terima kasih Tony Sly atas nada- nada dan lirik- lirik sendu bernuansa politiknya, you're already missed!


Tuesday, 30 July 2013

Pejalan Kaki Silahkan Minggir!



Beberapa hari yang lalu saya mempunyai pengalaman yang terbilang agak kurang mengenakan, sumpah serapah dari beberapa pengendara motor yang tak tahu diri dan menggunakan segala cara untuk pulang ke rumah mereka  agar  dapat berbuka puasa bersama keluarga termasuk dengan merampas hak orang lain.

Yap, merampas hak orang lain. Saya yang sedang berjalan di atas trotoar bermodalkan pemutar lagu dan earphone ditelinga disebut bonge, torek, budek dan segala hinaan yang mereka lontarkan agar saya memberi jalan bagi mereka.

Beberapa ratus meter ke depan saya diteriaki  hal yang hampir serupa oleh pengendara mobil saat hak ‘lintas’ saya di trotoar direbut secara paksa oleh pedagang kaki lima yang membuat saya terpaksa berjalan di atas aspal dan mengganggu kelancaran lalu lintas di jalanan tersebut..

Pertanyaannya, dimana pedestrian seharusnya berada?   Apa kah pejalan kaki mempunyai hak untuk berjalan di atas trotoar?

Dalam pasal 26  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 disebutkan setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat. Di dalam UU itu juga disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. 

Tapi faktanya, fasilitas yang seharusnya diperuntungkan bagi pejalan kaki justru digunakan oleh PKL dan terkadang beralih fungsi sebagai jalur darurat untuk pengendara motor yang tak mempunyai etika dalam berkendara. Pejalan kaki justru teralienisasi dari tempat ia seharusnya berada dan realitas itu dapat anda temukan di hamper seluruh kota besar di Indonesia,  sebuah dilema yang harus ditanggung oleh pejalan kaki di Negara ini,  khususnya di kota- kota besar di Indonesia.

Entah siapa yang mempunyai dosa pertama, PKL, pengendara motor atau aparat penegak hokum yang acuh tak acuh menegakan aturan.  Tapi yang pasti hak – hak kita sebagai pejalan kaki sudah dirampas sejak dalam pikiran dan perampasan hak di Negara ini adalah hal yang lumrah. Jangankan hak untuk berjalan kaki di area public toh hak kebebasan untuk menganut sebuah kepercayaan pun sering kita abaikan di Negara ini.

Selama anda mempunyai uang, kekuasaan dan membayar setoran anda dapat berlaku seenaknya. Dan, ah yah saya lupa bahwa saya sedang berada di Indonesia.




Tuesday, 9 July 2013

Mempertahankan Keyakinan



Sudah hampir 10 tahun saya berjalan lurus menuju tepi, dan disetiap persimpangan yang saya lewati selalu ada pikiran untuk membelokan keyakinan. Semakin besar keinginan untuk membelokan keyakinan, semakin besar pula keinginan untuk mempertahankan keyakinan.

Sore tadi, disebuah warung kopi lusuh dibilangan Dayang Sumbi saat saya bercerita bagaimana Ray Cappo mempesona hati saya, seorang teman bertanya. Mengapa bias saya bertahan mempertahankan apa yang saya yakini dimana disaat yang sama saya dibombardir oleh rayuan untuk meninggalkan apa yang saya yakini.

Yah, memang bukan perihal mudah mempertahankan keyakinan dimana orang- orang yang berada disekitar kita justru bersebrangan dengan kita, beberapa diantaranya secara tidak langsung justru mencoba meruntuhkan apa yang selama ini telah kita yakini. Beberapa dari mereka bahkan berkata bahwa apa yang saya yakini akan runtuh dengan sendirinya saat saya memasuki periode dimana saya disebut dewasa.

Saya sama seperti mereka, punya nafsu sebagaimana layaknya manusia, dan layaknya manusia bukan hal yang mudah untuk melawan nafsu yang datang dari segala penjuru. Entah apa yang membedakan saya dengan mereka tapi bagi saya memuaskan nafsu adalah suatu yang sia- sia, nafsu yang lain akan datang menggantikan nafsu yang telah terpuaskan.

Terlalu naif untuk menampikan kausa dan makna yang saya yakini ini karena takut tuhan, tapi jauh sebelum berurusan dengan tuhan, sangat risih bagi saya untuk hidup dengan sesuatu yang tidak saya yakini. Dalam konteks apapun, saya selalu berpegang teguh pada prinsip “Lebih baik mati dibanding harus berkompromi”. Dan saya sama sekali tidak peduli walau pun nanti saya harus hidup sendiri, toh selama ini saya selalu menikmati momen kesendirian didalam keramaian dan setidaknya saya bias hidup dengan apa yang saya yakini dibanding harus berkompromi.

Diperjalanan pulang, playlist band- band straight edge saya putar sepanjang perjalanan, hingga akhirnya lagu Hatebreed yang berjudul Honor Never Dies  secara tak sengaja terlintas untuk menjadi soundtrack yang pas hari untuk sore tadi.  

Jika hidup itu pilihan maka setiap orang bebas memilih jalan hidupnya masing- masing, bukan?.
Standing for what you believe means standing alone. - Jamey Jasta

note: Hatebreed bukanlah band straight edge