
-
Tanpa suporter sulit bagi sebuah klub sepak bola untuk tetap eksis di dunia, ibarat bernafas mereka adalah oksigen. Bagi sebagian orang klub sepak bola itu adalah mahzab, satu agama dengan ratusan ribu mahzab yang tersebar di penjuru dunia sudah cukup mewakilkan keagungan sepak bola itu sendiri.
Setiap klub sepak bola memiliki identitas tersendiri yang merepresentasikan asal muasal klub itu berdiri, mulai dari nilai- nilai filosofis, kultur hingga agama terdapat dalam identitas klub itu sendiri. Maka bukan hal yang aneh jika suporter klub- klub sepak bola mati- matian mendukung klub yang mereka bela.
FC Barcelona, dengan segala keagungannya adalah sebuah simbol perlawanan para anarkis dan rakyat Catalonia terhadap kediktatoran Franco di Spanyol. Begitu juga Athletic Bilbao yang menjadi simbol perlawanan rakyat Basque terhadap pemerintah Spanyol. Maka tak heran Real Madrid yang menjadi simbol kerajaan Spanyol menjadi musuh nomor 1 bagi mereka.
Bagi mereka para penganut paham Fasis, Lazio adalah rumah bagi mereka. Klub yang berdiri di kota Roma ini adalah simbol bagi kaum fasis di Italia bukan hanya bagi suporter sepak bola saja tapi bagi pemain penganut paham fasis seperti Paolo Di Canio yang (hampir) selalu melakukan selebrasi ala Nazi setelah ia berhasil mencetak gol.
Tottenham Hotspurs, klub yang berbasis di London Utara ini dikenal dengan klub sepak bola yang mempunyai basis suporter dikalangan Yahudi, tak heran ketika seorang teman dari Amerika Serikat yang beragama Yahudi dengan bangga merepresentasikan dirinya bahwa dia adalah seorang Yid's Army dan juga pendukung Spurs sejati.
Celtic FC dan Rangers memang berbasis di kota Glasgow, Skotlandia, tapi jangan heran jika anda melihat bendera
tricolor milik Irlandia dan
Union Jack milik Britania Raya pada saat kedua tim ini saling berhadapan. Bumbu politik dan sektarianisme mewarnai laga ini.
Republican vs Loyalist dan Katolik vs Protestan menjadi penyebab rivalitas kedua klub yang saling bertetangga yang tiap hampir tahunnya selalu memakan korban.
Bagi kaum Anarkis atau
left-wing, PunkRocker dan Anti-Fasis St. Pauli adalah klub yang tepat mewakili identitas mereka. Klub asal kota Hamburg ini dikenal sebagai klub dengan ke-
kult-an dan logo
Skull and Crossbones-nya. St Pauli adalah simbol bagi para Punker yang mencintai sepak bola, Gregg Graffin vokalis dari Bad Religion dan Alex Rosamilia gitaris dari The Gasligth Anthems adalah satu dari beberapa musisi punk yang mendukung St Pauli.
Persib Bandung, Persija Jakarta, PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Arema Malang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman, PSMS Medan adalah beberapa klub sepak bola yang mempunyai basis suporter yang cukup banyak di Indonesia. Kelompok suporter mereka tersebar di penjuru Indonesia dan ratusan atau bahkan ribuan diantara mereka rela berbondong- bondong mendampingi tim mereka dimanapun mereka berlaga.
Darah biru sudah mengalir otomatis bagi mereka yang lahir dan menetap di kota Bandung, tanpa embel- embel paksaan ribuan bobotoh dari berbagai penjuru Jawa Barat selalu datang memenuhi stadion si Jalak Harupat dan Siliwangi jika Persib Bandung bertanding.
Saya pun merasakannya, sebelum mengenal sepak bola, Persib-lah yang pertama kali saya kenal. Walau saat itu ada Bandung Raya juga berjaya di kancah liga Indonesia tapi Persib lebih memiliki ikatan batin tersendiri bagi saya atau mungkin karena hubungan historis dari Ayah saya yang mantan pemain Persib.
Atau bagaimana para pendukung Persija Jakarta yang rela mengawal klub mereka menjadi musafir disaat mereka harus terusir dari kandang mereka sendiri dan dijadikan korban konspirasi petinggi PSSI.
Di Medan pun sama, bagaimana teman saya yang orang Batak bermarga Pakpahan
, kebingungan karena tak tahu PSMS mana yang harus ia dukung terkait dualisme di klub tersebut. Tapi bagi dia selama klub itu mewakili Medan dan ke-Batak-annya ia akan mendukung kedua PSMS itu dimana pun mereka berlaga.
Kerusuhan atau bentrok antar suporter yang sering hadir di televisi bukan menjadi suatu hal yang aneh lagi bagi saya yang notabene penggemar sepak bola. Di negara sepak bola modern macam Inggris pun bukan suatu hal aneh jika dua kelompok suporter yang mewakili klub yang berbeda bentrok didalam atau diluar stadion.
Ketika terjadi kerusuhan antar suporter di saat, sebelum atau setelah pertandingan berlangsung, suporter selalu dijadikan 'tersangka utama' dalam kasus ini, mulai dari cap suporter tak berpendidikan hingga cap yang lebih 'elegan' yang disebut
hooligan menempel pada mereka. Ironisnya hanya ada sedikit orang yang mempelajari keterkaitan emosi suporter dengan identitas klub sepak bola yang mereka bela.
Franklin Noer salah satunya, dalam bukunya
How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization. Ia menjelaskan banyak hal kenapa suporter atau para pecinta sepak bola bisa melakukan hal- hal yang berada diluar logika. Bukan hanya dari mana klub itu berasal tapi dari aspek filosofis, ideologi, kultur hingga agama.
Ada
sense of pride dan
sense of belonging yang mendekatkan mereka. Tak heran jika di Inggris, stadion- stadion sepak bola hampir selalu terisi penuh, karena rata- rata suporter mereka memiliki kedekatan yang cukup dalam dengan klub yang mereka dukung. Mereka mendukung klub merekan bukan hanya disaat klub mereka berjaya tapi disaat klub mereka juga terpuruk dan begitulah bagaimana suporter seharusnya.